1. Candi Prambanan
Berbicara soal Candi Prambanan berarti harus memahami legenda Bandung Bondowoso. Ia adalah orang sakti yang ingin mengawini Puteri Loro Jonggrang, anak Prabu Ratuboko.
Loro Jonggrang tidak mempunyai hati terhadap Raden Bandung Bondowoso. Sebab ayahnya terbunuh di tangan sang Raden. Karena itulah ia mengajukan syarat, bersedia menikah asal Bandung Bondowoso membuat sebuah istana yang berisi seribu arca dalam waktu semalam saja. Konon, Raden Bandung meminta bantuan pasukan jin untuk menyelesaikan tugasnya
Setelah mendengar laporan istana hampir selesai, Puteri Loro Jonggrang memerintahkan para gadis di sekitar Prambanan untuk menumbuk padi dan membakar jerami supaya kelihatan terang pertanda pagi sudah tiba, dan ayampun berkokok bergantian.
Mendengar ayam berkokok dan orang menumbuk padi serta di timur kelihatan terang, para jin berhenti membuat candi. Mereka melaporkan pada Raden Bandung Bondowoso bahwa jin tidak bisa meneruskan membuat candi yang kurang satu karena pagi sudah tiba.
Tetapi menurut firasat Raden Bandung, pagi belum tiba. Dipanggillah Putri Loro Jonggrang dan disuruh menghitung candi. Ternyata jumlahnya baru 999 candi, jadi yang belum jadi tinggal satu candi lagi. Sehingga Putri Loro Jonggrak tidak mau dipersunting oleh Raden Bandung.
Karena merasa ditipu dan dipermainkan, Raden Bandung murka dan mengutuk Putri Loro Jonggrang, “Hai Loro Jonggrang, candi kurang satu dan agar genap seribu, engkaulah orangnya”. Aneh bin ajaib, Putri Loro Jonggrang berubah wujud menjadi arca patung batu.
Legenda ini sangat populer, sehingga penduduk setempat lebih mengenal nama
Loro Jonggrang daripada nama Prambanan. Jangan heran, kondektur bus yang menuju
tempat wisata ini lebih sering berteriak “Jonggrang…Jonggrang,” dan bukan,
“Prambanan.”Padahal, nama Candi Prambanan diberikan karena letaknya ada di Desa
Prambanan. Lagipula, arca Loro Jonggrang yang ada di candi tersebut sebenarnya
menggambarkan Dewi Durga, istri Dewa Siwa.
2. Candi Sari
Tak jauh dari Candi Prambanan, tepatnya di jalan raya Yogyakarta – Solo ada
Candi Sari. Mengapa diberi nama demikian? Dulu, saat pertama kali ditemukan,
banyak orang terkagum-kagum dengan batu-batu berukir yang jadi bagian dari candi
ini.
Setelah pemugaran selesai, mereka mengibaratkannya dengan kemolekan seorang
gadis. Jadinya, sebagai penghormatan pada candi tersebut, diberilah nama Candi
Sari. Dalam bahasa Jawa artinya lebih-kurang: Molek.
3. Candi Tikus
Candi Tikus yang berada di kompleks Trowulan, Jawa Timur diberi nama
demikian karena pada awal penemuannya, di sela-sela batu candi yang masih
berantakan banyak dijumpai sarang tikus.
4. Candi Asu Sengi
Letak Candi Asu Sengi tidak jauh dari lokasi tempat wisata Candi Gedong
Songo yang terletak di dusun Darum desa Candi, Magelang.
Nama “Asu” berasal dari bahasa jawa yang berarti “Anjing”. Nah, terdapat
kekeliruan dengan nama candi ini. Saat awal ditemukan, situs candi ini belum
diberi nama. Namun, di dekat candi ada sebuah arca berbentuk hewan.Nah, penduduk
sekitar menganggap arca itu berwujud anjing, karena itulah diberi nama Candi
Asu. Sesungguhnya, arca yang telah hilang dicuri orang tersebut adalah ujud
lembu suci, atau arca Nandiswara – atau Nandi. Lembu ini adalah kendaraan Dewa
Siwa dalam mitologi Hindu.
5. Candi Wurung
Di daerah Magelang ada juga Candi Wurung. Pertama kali ditemukan,
masyarakat sekitar menafsirkan bahwa candi itu belum “urung” (bahasa Jawa,
artinya “rampung/selesai”). Memang, situs yang satu ini berbentuk gundukan tanah
yang berada di tengah sawah. Hanya terlihat onggokan kecil tertutup rumput,
seolah candi yang belum selesai dibangun.
6. Candi Borobudur
Nama Candi Borobudur masih terus diperdebatkan hingga kini. Menurut
penduduk setempat, Borobudur bermakna “arca di Desa Budur”. Konon, dulu setiap
hari penduduk selalu melihat banyak boro (= arca) di Desa Budur.
Sementara dari penelitian ilmiah, J.L. Moens, istilah budur artinya kota Budha. Karena dalam kitab kuno Nagarakretagama penyebutan budur sudah ada.
Lain lagi menurut Poerbatjaraka, ahli epigraf Indonesia, nama Borobudur berasal dari kata biara (tempat suci) dan bidur (tempat tinggi), yang kemudian “diplesetkan” menjadi borobudur.
Jadi, sebagian besar candi-candi yang ada di Indonesia hanya sedikit yang dinamakan sesuai dengan apa yang diesebutkan dalam naskah kuno. Artinya, sesuai nama asli. Seperti misalnya saja Candi Jawi, sesuai dengan nama bangunan suci Jajawa. Atau kata “Jajaghu” kini untuk nama Candi Jago – terjadi penyederhanaan nama. Dua nama candi itu disebut dalam kitab Nagarakretagama dari abad ke-14.
Kebanyakan pemberian nama candi sesuai wilayahnya, atau dari masyarakat sendiri.
0 Komentar untuk "Kisah dibalik nama candi"