Oleh :
Muhammad Mulyadi.
Kajian mengenai
peristiwa lumpur Lapindo banyak dibahas dari segi geologi, ekonomi, hukum,
sosial, dan politik. Hampir tidak ada kajian lumpur Lapindo dari segi budaya.
Memang masalah lumpur Lapindo banyak berkaitan dengan masalah-masalah di luar
budaya. Akan tetapi peristiwa lumpur Lapindo sebenarnya juga dapat dilihat dari
sisi budaya. Beberapa kajian budaya yang berkaitan dengan bencana alam di
antaranya adalah mengenai; pandangan masyarakat mengenai sebab-sebab terjadinya
bencana alam, serta pandangan masyarakat Jawa (sebagai korban) terhadap tanah
dan tempat tingalnya.
Selain itu, selama ini
pencegahan bahaya bencana alam dan penanganan pasca bencana juga lebih banyak
dibahas oleh bidang kajian non-budaya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah
sumbangan kajian budaya dalam menangani bencana alam?
Pandangan Masyarakat Mengenai
Sebab-sebab Bencana
Sebelum “sepakat”
ditulis dengan istilah lumpur Lapindo dalam berbagai media massa,
istilah untuk bencana alam meluapnya lumpur yang terjadi di kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo sering disebut media massa sebagai Lumpur Sidoarjo.
Disingkat dengan Lusi. Penulisan bencana tersebut dengan istilah lumpur
Sidoarjo, menyatakan bahwa tempat terjadinya bencana lumpur lebih penting
daripada penyebab terjadinya bencana tersebut. Dengan kata lain, penulisan
tersebut telah menomorduakan penyebab bencana yaitu PT Lapindo Brantas.
Sementara itu, penulisan lumpur Lapindo lebih mengutamakan penyebab terjadinya
bencana tersebut. Dalam tulisan ini menggunakan istilah lumpur Lapindo dengan
alasan ingin menekankan bahwa bencana tersebut merupakan sesuatu yang disebabkan
oleh kelalaian manusia. Dalam hal ini adalah PT Lapindo.
Dalam sejarah, kepercayaan
masyarakat Indonesia mengenai terjadinya suatu bencana alam lebih sering
dipandang sebagai sesuatu peristiwa yang disebabkan oleh ulah manusia yang
melanggar tabu atau sering berbuat dosa. Sang Pencipta kemudian menurunkan
bencana sebagai suatu bentuk hukuman atau peringatan karena manusia sudah tidak
menghiraukan larangannya. Bentuk bencana pada umumnya dapat berupa banjir,
gunung meletus, kecelakaan, dan wabah penyakit. Akan tetapi, dalam kepustakaan
sejarah Indonesia belum ditemukan bahwa Sang Pencipta “menghukum” umatnya dengan
banjir lumpur. Terlebih oleh lumpur yang muncul dari dalam tanah, bukan yang
disebabkan oleh banjir, luapan dari sungai, atau lava yang disebabkan ledakan
gunung berapi. Dengan demikian, apabila peristiwa Lapindo ini dianggap sebagai
suatu hukuman atau peringatan dari Sang Pencipta, maka inilah hukuman yang
bersejarah bagi umat manusia di Indonesia.
Pandangan
masyarakat Indonesia mengenai bencana alam di atas penulis sebut sebagai suatu
pandangan yang bersifat agamawi. Sang Pencipta atau kekuatan di luar manusia lah
penyebab segala sesuatu bencana di muka bumi ini.
Akan tetapi,
pandangan tersebut bukanlah satu-satunya pendapat yang mewakili pandangan
masyarakat Indonesia. Pandangan lainnya dalam melihat bencana alam adalah
disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Artinya, manusia lah
penyebab dari segala bencana alam yang terjadi. Hal itu disebabkan oleh
kelalaian manusia dalam menjaga kelestarian, keseimbangan alam atau merusak alam
secara tanpa sadar, sengaja, atau bahkan terstruktur. Pandangan ini penulis
sebut sebagai gejala duniawi. Bukan “kutukan” atau cobaan sang Pencipta, tetapi
manusia sendiri lah penyebabnya. Sesuatu yang dapat diterangkan akal sehat yang
dicari, bukan berdasarkan keyakinan atau sistem kepercayaan semata.
Pada beberapa
kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seperti bencana
tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan banjir di Jakarta
menampakkan bahwa pandangan sebagian masyarakat Indonesia mengenai bencana alam
telah bergeser dari unsur agamawi menjadi lebih ke unsur duniawi. Hal itu
terlihat dari munculnya berbagai analisis ilmiah yang muncul di berbagai media
massa elektronik dan cetak yang mencoba menjelaskan sebab-sebab terjadinya suatu
bencana alam.
Hal itu
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin rasional. Meskipun
demikian, unsur-unsur agamawi tidak sepenuhnya hilang. Masih nampak hal-hal yang
menandai unsur-unsur agamawi dalam melihat kasus lumpur Lapindo.
Dalam kasus lumpur
Lapindo pandangan masyarakat yang duniawi dan agamawi nampaknya berjalan
beriringan. Dalam pandangan duniawi bencana semburan lumpur disebabkan oleh
kelalaian dalam pengoperasian ladang gas. PT Lapindo Brantas sebagai pengelola,
lalai memasang cashing pengaman. Bukan disebabkan gempa di Yogyakarta
dan sekitarnya dengan kekuatan 6,2 skala richer, yang terjadi beberapa waktu
sebelum bencana lumpur Lapindo terjadi. Dalam pandangan agamawi atau lebih
khusus di sini ditekankan sebagai unsur kepercayaan terhadap sesuatu yang berupa
ramalan, maka muncul pula pandangan bahwa inilah suatu titik mula pulau Jawa
akan terpecah menjadi dua. Persis ramalan seorang tokoh para normal yang dikutip
di berbagai media.
Mengenai
penyikapan terhadap bencana ini juga dapat dilihat dari sudut duniawi dan
agamawi. Dalam pandangan duniawi lumpur Lapindo terjadi akibat kelalaian
perusahaan, sehingga para korban berupaya meminta ganti rugi ke perusahaan yang
menyebabkan terjadinya musibah tersebut.
Dalam pandangan
agamawi misalnya terlihat pada sholat Idul Fitri 1427 H yang diikuti ratusan
warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc di atas tanggul penampungan di
Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin pagi (23/10). Dalam khotbahnya,
KH Maksum Subaeri, seorang tokoh masyarakat dan salah satu pimpinan pondok
pesantren di Desa Jatirejo, mengajak seluruh warga korban luapan lumpur Lapindo
untuk senantiasa tabah menghadapi cobaan dari Allah SWT. “Semua yang kita miliki
adalah titipan Allah SWT dan kita serahkan semua kepada-Nya,” ucap KH Maksum.
Desa Jatirejo merupakan salah satu dari delapan desa di Kecamatan Porong,
Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo yang paling parah terkena dampak luapan lumpur
Lapindo.
Sikap
Masyarakat
Keterikatan
masyarakat Jawa dengan tanahnya dapat direpresentasikan melalui salah satu
pepatahnya mengenai kedudukan tanah bagi orang Jawa. Pepatah tersebut adalah
sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati. Pepatah ini secara harfiah
berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara
luas pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan
ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa
(pati).
Pepatah di atas
sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau
harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang
pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh
orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula
penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari
tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang
telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang
lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang
kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya
itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata,
tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri
atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar, maka mereka akan mempertaruhkannya
dengan nyawa mereka.
Selain masalah
kehormatan, tanah dan tempat tinggal merupakan lingkungan budaya yang penting
bagi masyarakat Jawa. Ikatan emosional terhadap lingkungan budaya terutama di
rasakan pada masyarakat pedesaan. Dengan keterampilan bertani, desa merupakan
tempat masyarakatnya mencari penghidupan, satu desa merupakan wilayah tempat
tinggal seseorang dan juga kerabat-kerabatnya. Leluhur mereka pun di makamkan di
dalam lingkungan desa. Tali puser (ari-ari) mereka tanam di desa. Bagi
masyarakat Jawa, tempat di tanamnya ari-ari dipercayai sebagai suatu tempat yang
akan selalu dirindukan. Kondisi-kondisi tersebut menjadi basis eksplanasi
kenapa masyarakat Jawa begitu kuat ikatannya dengan desa dan lingkungan yang
menjadi tempat tinggalnya. Hal itu pula yang dapat menjelaskan kenapa masyarakat
Jawa akan beramai-ramai pulang kampung bila ada kesempatan, terutama pada hari
raya. Tidak peduli betapa sulit perjalanannya dan memerlukan ongkos yang mahal.
Persoalannya dalam
kasus lumpur Lapindo, tanah penduduk hilang bukan karena dirampas atau diganggu
oleh seseorang ataupun penguasa. Hilangnya tanah pertanian dan tempat tinggal
penduduk disebabkan kelalaian suatu perusahaan, bukan karena akan mendirikan
pabrik atau membangun jalan. Tetapi oleh sesuatu yang dikategorikan musibah.
Apabila hilangnya lahan mereka disebabkan oleh bencana alam murni, mungkin
mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Bencana alam yang muncul lebih
disebabkan oleh kelalaian perusahaan. Akibatnya, pandangan orang Jawa mengenai
sadhumuk bahtuk ini masih terlihat dalam kasus lumpur Lapindo. Karena
dianggap ada pihak yang telah mengganggu tanah dan tempat tinggalnya. Memang
tidak memperlihatkan aksi balas dendam karena kehormatannya merasa terganggu,
tetapi ketabahan dan keuletan mereka dalam meminta ganti rugi menampakkan
pandangan sadhumuk bathuk tersebut. Berbagai upaya mereka jalani agar
hak mereka atas tanah dapat diganti, mulai dari unjuk rasa ke PT Lapindo
Brantas, Bupati Sidoardjo. Bahkan mereka tidak segan untuk meminta perhatian dan
bantuan pemerintah pusat dengan langsung mendatangi presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Meskipun berupaya dihalang-halangi oleh aparat kepolisian.
Sebagian masyarakat Porong
menyadari bahwa akan muncul kesulitan apabila mereka tetap mengharapkan keadaan
tanah dan tempat tinggalnya dapat kembali ke keadaan sebelum terjadinya bencana.
Seandainya luapan lumpur berhenti pun, pemetaan kembali wilayah bukan masalah
yang mudah. Karena kondisi wilayah Porong-Sidoradjo saat ini telah menjadi
lautan lumpur. Akan tetapi, karena ikatan budaya seperti yang dijelaskan di atas
masih ada sekelompok masyarakat yang masih mengharapkan untuk dapat menempati
tempat tinggalnya kembali.
Memperhatikan hal tersebut,
nampaknya perlu dilihat bahwa wilayah Porong-Sidoarjo bukanlah homogen. Ada
wilayah pertanian dan ada juga wilayah industri. Wilayah pertanian meliputi
desa-desa dan wilayah industri meliputi pinggiran kota. Meskipun tidak
dilakukan penelitian mendalam mengenai pilihan masyarakat di kedua kelompok
tersebut, melalui pengamatan selintas dapat diketahui bahwa kelompok masyarakat
pedesaan lebih memilih untuk mencoba bertahan daripada kelompok masyarakat
pinggiran kota. Selain alasan budaya, masyarakat pedesaan mencoba bertahan
karena alasan mencari lahan pengganti untuk pertanian tidaklah mudah. Oleh
karena itu mereka bergotong royong untuk membuat tanggul penahan lumpur atau
mengalihkan aliran lumpur. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di wilayah
industri dan mata pencahariannya berkaitan dengan industri, akan lebih mudah
meninggalkan tempat tinggalnya. Dengan harapan dapat menemukan kesempatan kerja
di wilayah lain, meskipun kesempatan kerja sangat terbatas. Kalau tidak
dikatakan sangat sulit.
Bencana Alam dalam Sejarah
Indonesia
Sejarah mengenai bencana
alam di Indonesia, belum banyak ditulis, dan kurang menjadi perhatian para
sejarawan Indonesia. Selama hampir tiga puluh tahun jurusan Sejarah Universitas
Padjadjaran berdiri, baru ada dua mahasiswa yang mengambil tema bencana alam.
Masing-masing ditulis oleh Rina Ayudin pada 2002 mengenai meletusnya gunung
Krakatau dan Caesario Meizaro pada 2006 mengenai meletusnya gunung Galunggung.
Sepengetahuan penulis berdasarkan data pertukaran judul skripsi antar
universitas, tema bencana alam belum pernah ada yang menulis. Hal itu menandakan
bahwa perhatian sejarawan, terutama sejarawan akademik, terhadap bencana alam
masih kurang. Apabila ada sejarawan akademik yang telah memulai concern
dengan masalah bencana alam, maka banyak pula mahasiswa yang akan mengikutinya.
Logika tersebut penulis bangun berdasarkan indikator bahwa banyak skripsi
bertema pedesaan di Universitas Gajah Mada karena para sejarawan akademik,
dosen, di Universitas Gajah Mada banyak yang concern terhadap masalah
pertanian. Demikian pula di Universitas Dipenogoro banyak mahasiswa yang menulis
skripsi dengan tema maritim karena banyak dosennya yang concern
terhadap masalah maritim.
Kurangnya
perhatian sejarawan terhadap masalah bencana alam kemungkinan disebabkan oleh
sedikitnya bencana alam yang terjadi di Indonesia sebelum kasus Tsunami dan
gempa bumi di berbagai wilayah Indonesia. Boleh jadi sejarah bencana alam belum
dianggap terlalu penting dan mendesak untuk ditulis. Padahal dalam sejarah
Indonesia abad 11 telah dinyatakan adanya bencana alam besar (pralaya)
sehingga kerajaan mataram kuno berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Dalam kondisi
kekurangan karya sejarah yang berkaitan dengan bencana alam, ada tulisan menarik
dari A.B. Lapian dalam buku yang berjudul Dari Babad dan Hikayat Sampai
Sejarah Kritis. Dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut, AB
Lapian menguraikan tentang penyebab-penyebab bencana alam menurut tradisi lisan
dan akibat-akibat yang disebabkannya. Menurut A.B. Lapian sebab-sebab terjadinya
bencana alam menurut masyarakat tradisional sering diartikan sebagai hukuman
kolekftif terhadap masyarakat yang menaungi pelaku-pelaku yang menyimpang dari
norma moral dan etika yang dianut bersama. Lingkungan yang tercemar secara moral
perlu dibersihkan dengan bencana alam berupa banjir maupun letusan gunung
berapi.
Perilaku-perilaku
yang menjadi penyebab terjadinya bencana misalnya berzina, perkawinan incest,
tidak menerapkan ajaran agama (melanggar ajaran agama), tidak menghormati tokoh
yang disakralkan, atau melanggar kepercayaan lainnya. Kadang-kadang pandangan
masyarakat terhadap munculnya bencana alam juga tidak seragam. Misalnya
pandangan masyarakat Banten mengenai meletusnya gunung Krakatau pada 1883
menurut masyarakat adalah dilanggarnya tabu oleh Bupati, karena merayakan pesta
pernikahan dengan khitanan secara bersamaan. Suatu pantangan adat bagi
masyarakat setempat. Sementara masyarakat yang alim menyatakan bahwa bencana
tersebut merupakan hukuman dari Tuhan. Hal itu disebabkan Bupati mengadakan
tayuban yang disertai ronggeng dan kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan
ajaran agama Islam. Dengan demikian sebab-sebab terjadinya bencana alam seperti
yang diuraikan oleh A.B. Lapian dapat digolongkan sebagai sebab-sebab agamawi.
Suatu hal lain
yang menarik dari uraian A.B. Lapian adalah pandangan sebab terjadinya bencana
alam agamawi bukan merupakan monopoli pribumi. Orang Belanda pun percaya bahwa
sebab terjadinya letusan Krakatau adalah sebagai oud-testamentisch
wraakgericht suatu ganjaran hukuman seperti yang digambarkan oleh kitab
perjanjian lama dan perjanjian baru. Dijatuhkannya hukuman tersebut karena
Bupati telah menjadi penguasa yang lalim yang berkuasa semena-mena terhadap
rakyatnya.
Mengenai akibat
bencana alam dari sudut pandang budaya adalah menyadarkan manusia untuk berbuat
semua hal sesuai dengan aturan agama. Oleh karena itu, pasca letusan gunung
Tambora dan Krakatau penduduk di sekitarnya menjadi lebih taat beragama. Khusus
dalam kasus Krakatau, lebih taatnya masyarakat Banten telah menyebabkan
ketakutan pemerintah Belanda bahwa masyarakat Banten akan menjadi fanatik. Hal
itu terbukti dengan meletusnya perlawanan petani Banten terhadap pemerintah
kolonial Belanda pada 1888, yang digerakan oleh golongan alim ulama.
Sementara itu,
menurut kajian Caesario Meizaro dampak yang disebabkan oleh meletusnya gunung
Galunggung adalah munculnya mata pencaharian baru di wilayah bencana. Mata
pencaharian tersebut adalah penambangan pasir yang diakibatkan semburan gunung
Galunggung. Mata rantai dari penambangan pasir adalah pembuatan paving blok.
Akan tetapi, mayoritas penambangan pasir tersebut dilakukan oleh masyarakat
bukan petani. Bagi petani keinginanannya yang utama adalah tetap bertani.
Meskipun lahan pertaniannya telah tertutup pasir, para petani tersebut tetap
tidak mengusahakan penambangan pasir. Mereka bahkan membiarkan penambang
melakukan penambangan pasir di lahan miliknya. Hal itu disebabkan mereka merasa
terbantu oleh penambangan tersebut yang mereka anggap telah membersihkan
lahan-lahan pertanian mereka. Sehingga ketika pasir sudah habis, dalam waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, para petani baru bisa menggarap sawahnya
kembali.
Dengan demikian
budaya pertanian di daerah bencana alam gunung Galunggung tidak hilang. Di sini
dikatakan budaya pertanian, hal itu disebabkan sistem mata pencaharian merupakan
salah satu unsur dari tujuh unsur pokok kebudayaan. Mata pencaharian lebih
dilihat sebagai unsur budaya daripada unsur ekonomi.
Dari kasus gunung
Galunggung tersebut dapat dilihat bahwa tidak mudah mengubah suatu budaya.
Terlebih budaya pada masyarakat pedesaan yang menyangkut mata pencaharian dan
pada wilayah yang masyarakatnya bermata pencaharian homogen, seperti pertanian.
Akankah Muncul Suatu Kebudayaan yang
Berkaitan dengan Bencana Alam?
Bencana alam bukan
merupakan suatu peristiwa yang rutin terjadi dalam wilayah yang sama di
Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia seolah-olah terlena dengan keramahan
alamnya. Sering tidak ada persiapan dalam menghadapi bencana.
Akan tetapi,
kondisi tersebut harus mengalami perubahan. Hal itu disebabkan oleh berubahnya
fenomena alam di Indonesia. Banjir terus terjadi secara berulang-ulang di
wilayah yang sama. Yogyakarta kerap terkena gempa. Wilayah Jabotabek tidak luput
dari ancaman angin puting beliung. Demikian juga dengan wilayah Indonesia
lainnya tidak luput dari teror bencana alam.
Apabila sudah menjadi rutin,
mungkinkah muncul suatu adat-istiadat atau sistem budaya yang berkaitan dengan
bencana alam? Negara Jepang menempati suatu wilayah yang secara geografis
rawan akan gempa bumi. Oleh karena itu bangsa Jepang membuat bangunan dan sarana
lainnya dengan kontruksi tahan gempa. Nenek moyang kita juga sebenarnya sudah
memberikan contoh. Ketika tempat tinggalnya tidak aman karena ancaman binatang
buas, maka mereka membangun rumah panggung yang tinggi. Apakah membuat rumah
panggung yang tinggi akan menjadi budaya masyarakat di wilayah-wilayah yang
kerap menjadi langganan banjir? Atau tetap akan terjebak rutinitas membersihkan
rumah dan kehilangan banyak barang setiap banjir datang? Demikian juga bagi
masyarakat di Yogyakarta, apakah sudah siap untuk membuat bangunan dan sarana
dengan selalu bersandarkan pada kontruksi anti gempa. Bukan keindahan arsitektur
semata.
Selain sarana fisik apakah
secara mental juga kita siap menghadapi bencana. Artinya, bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah rawan bencana dan tidak berniat meninggalkan wilayah tersebut
maka mereka harus disiapkan untuk tetap tinggal dengan segala resikonya
(living with risk). Beberapa bulan yang lalu propinsi Banten kedatangan
dua orang walikota dari Jepang. Maksud kedatangan mereka adalah untuk memberikan
latihan terhadap masyarakat setempat dalam persiapan menghadapi bencana tsunami.
Agar siap secara mental menghadapi bencana. Belajar dari bangsa Jepang,
penanganan menghadapi bencana alam ternyata dilakukan dengan menyeluruh. Baik
itu sarana fisik maupun mental. Dengan persiapan yang seperti itu, terbukti
korban jiwa dalam setiap gempa yang hebat di Jepang dapat diminmalkan. Bahkan
sering tanpa korban manusia sama sekali.
Dalam menciptakan
kesiapan menghadapi bencana maupun pasca bencana, pemerintah sebenarnya dapat
dan harus melakukan pendekatan yang melibatkan masyarakat/komunitas
(community based disaster risk management). Pemerintah dapat
memanfaatkan modal sosial yang selama ini sudah mengakar di budaya masyarakat,
yakni sikap gotong-royong. Salah satunya adalah rewang, yang biasa
dilakukan seseorang untuk membantu tetangga maupun kenalannya dalam mengadakan
kenduri. Dapat dimanfaatkan sebagai sikap siap saling membantu apabila wilayah
tetangga terkena gempa. Satu tradisi lainnya lagi yaitu paketan, suatu
sistem saling menyumbang dalam bentuk bahan makanan antar warga desa apabila
diselenggarakan suatu kenduri oleh seorang warganya. Hal ini juga bisa
dimanfaatkan dengan mengubahnya dari mengumpulkan bahan makanan, menjadi
mengumpulkan uang bagi keperluan warga yang menjadi korban bencana. Berbeda
dengan paketan yang diadakan beberapa hari menjelang diadakannya kenduri.
Paketan bencana dipersiapkan untuk menghadapi bencana.
Sampai saat ini,
yang dilakukan pemerintah masih bersifat sektoral, bukan dengan penanganan
bencana berbasis kawasan/komunitas. Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana
(Satlak PB) yang ada di setiap kabupaten kurang optimal. Selama ini, masih
banyak satlak yang hanya ada di SK Bupati/Walikota. Bukan di lapangan Selain
itu, Badan Koordinasi Nasional selama ini juga masih bersifat koordinatif dan
ad-hoc.
Bagi bangsa
Indonesia, ada hal lain yang perlu ditekankan yaitu menyangkut menjaga
kelestarian alam. Sehingga bencana alam yang disebabkan oleh manusia bisa
diminimalkan. Hal lainnya adalah mengenai kehati-hatian dalam kerja. Dengan
bencana lumpur yang diakibatkan kelalaian PT Lapindo, pemerintah maupun PT
Lapindo sendiri sulit menanganinya. Bagaiamana akan menangani kelalaian kerja
pada reaktor nuklir?
Kesimpulan
Tulisan ini tidak memberikan
sesuatu hal yang pasti mengenai sumbangan ilmu budaya dalam bencana alam. Hanya
sekedar memberi kemungkinan-kemungkinan untuk dikembangkannya budaya yang sudah
ada di masyarakat yang berkaitan dengan bencana alam. Maupun membentuk budaya
baru yang berkaitan dengan bencana alam.
Dalam bidang non
fisik hendaknya dikembangkan budaya yang telah mengakar di masyarakat Indonesia
yaitu sikap gotong royong, rewang, dan paketan. Selain itu, perlu juga
dikembangkan budaya baru yang berkaitan dengan bencana alam. Budaya baru yang
dibangun dipersiapkan untuk membangun mentalitas masyarakat yang tinggal di
wilayah rawan bencana supaya waspada terhadap ancaman bahaya bencana dan
terlatih menghadapi bencana. Sah-sah saja apabila bencana alam dikaitkan dengan
kepercayaan tertentu, tetapi harus diyakini juga bahwa beberapa bencana alam
adalah gejala alam yang dapat diprediksi. Kemampuan membaca atau memprediksi
bencana alam itulah yang harus menjadi pengetahuan, budaya baru, bagi masyarakat
yang tinggal di wilayah rawan bencana. Keterlibatan masyarakat dalam segala
tindakan bencana sebaiknya mulai dikembangkan. Tidak perlu menunggu inisiatif
pemerintah justru inisiatif masyarakatlah yang utama.
Pilihan kebudayaan
yang berkaitan dengan bencana dalam bentuk fisik adalah dengan membangunan
tempat tinggal yang mengutamakan kontruksi tahan gempa, terhindar dari banjir
maupun kokoh bila disapu puting beliung. Untuk menuju hal itu perlu dipikirkan
kembali untuk membangun rumah alternatif di wilayah rawan bencana. Rumah
berbahan kayu di wilayah rawan gempa, dan rumah panggung (tidak perlu berbahan
kayu) di wilayah rawan banjir.
Khusus korban
lumpur Lapindo yang merupakan petani, hendaknya perlu diperhatikan bahwa ganti
rugi berupa uang hendaknya dapat digunakan kembali untuk membeli lahan
pertanian. Bukan hanya cukup untuk tempat tinggalnya saja. Hal itu disebabkan
bahwa tanggung jawab PT Lapindo tidak hanya sekedar memindahkan penduduk, tetapi
secara moral dan ekonomi juga harus berupaya memberdayakan kembali masyarakat.
Belajar dari kasus bencana alam meletusnya gunung Galunggung, korban yang
bermata pencaharian bertani akan sulit berpindah mata pencaharian. Baik karena
alasan budaya maupun keterbatasan skill.
Muhammad Mulyadi, Dosen Jurusan Sejarah
Unpad
Daftar Sumber sengaja tidak
ditulis
Posted in ilmu sejarah, sejarah
0 Komentar untuk "Lumpur Lapindo: Melihat Bencana Alam dalam Bingkai Budaya?"